MASA DEPAN PENDIDIKAN & PENDIDIKAN MASA DEPAN

 


MASA DEPAN PENDIDIKAN & PENDIDIKAN MASA DEPAN


Oleh: Edi Sutan Pasaribu


Berbicara tentang pendidikan, berarti berbicara tentang manusia. Ya, manusia dengan masa depan atau tantangan yang bakal dihadapinya. Oleh karena itu, mau tidak mau, konsep pendidikan mesti dirancang untuk menjawab masa depan sesuai perkembangan yang ada dan membaca progresifitas perekembangan itu dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi di masa mendatang. Artinya, sejak dini, para pegiat atau praktisi pendidikan mesti mempersiapkan generasi kini untuk menghadapi tantangan di zaman mereka nanti.

Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat belakangan ini, telah sedemikian rupa mengubah pandangan hidup banyak orang. Banyak hal-hal yang dulu dikerjakan secara manual atau dengan teknologi sederhana, kini hampir seluruhnya telah mengalami digitalisasi. Transaksi bisnis, keuangan, hingga transfer ilmu, sudah mulai beralih ke cara digital dan daring. Apalagi –dan cukup beruntung – pada masa pandemi covid-19 ini. Hal-hal yang dulu mesti dilakukan secara langsung, tatap muka, bahkan harus bersentuhan fisik, kini telah dapat dilakukan secara jarak jauh. Ilmu-ilmu pengetahuan yang dulu relatif hanya dapat diperoleh dengan menghadiri dan mendapat langsung dari guru atau nara sumber dan membaca buku, kini cukup membuka gadjet di tangan, hampir semua pengetahuan yang ada bisa didapatkan. Mulai dari hal-hal yang remeh-temeh hingga masalah penting dan rumit, terdapat di sana. Baik permasalahan dunia maupun pengetahuan agama. Bukan hanya subtansi materi, tapi foto bahkan video penjelasan serta tutorialnya pun dengan mudah ditemukan secara daring. Maka tidak heran, seorang mekanik bengkel mesin motor yang tidak tamat SD, bisa membuat pesawat dan menerbangkannya. Karena sudah memiliki bakat, hanya dengan mengikuti petunjuk dari video yang ada, ia dapat memodivikasi satu unit mesin sepeda motor merek tertentu menjadi pesaawat mini yang dapat terbang di udara! Konon, para “teroris” yang membom di beberapa temapat pun, belajar merakit bom melalui videot tutorial yang ada. Apalagi “hanya” sekedar mencari resep dan tutorial memasak berbagai macam jenis makanan, sudah barang tentu amat mudah didapatkan. Demikian juga tentang hal-hal baru lainnya.

Banyak sudah jenis perusaahan yang terancam gulung tikar bahkan yang sudah tutup digilas oleh pergeseran yang sering disebut sebagai revolusi industry 4.0 itu. Surat Kabar kertas, termasuk di antra “korban” itu. Orang tidak perlu lagi menunggu lembaran koran esok pagi. Sebab, di mana pun ia berada, apa dan kapan pun suatu peristiwa terjadi, saat itu ia bisa up date berita lengkap dengan video visualnya secara daring. Perusaahan camera serta klise filmnya, taksi kompensional, dan lainya, termasuk pula yang bakal tergilas olehnya. Dan tidak menutup kemungkinan, dunia atau lembaga pendidikan formal akan menja “korban” berikutnya.

Kini hampir boleh dikatakan, kalau hanya sekedar mencari ilmu pengetahuan, tanpa harus belajar ke lembaga pendidikan formal pun, sudah bisa didapatkan. Itu artinya, jika suatu saat nanti lembaga-lembaga atau perusahaan yang ada tidak lagi melihat ijazah yang dibawa melainkan skill yang dimiliki oleh seorang pelamar pekerjaan, tidak menutup kemungkinan yang namanya lembaga pendidikan formal (Sekolah-Sekolah Menengah atau Lanjutan dan Kampus Perguruan Tinggi) bakal tutup!. Sebab skill dan pengetahuan yang bersifat praktis sudah bisa dan mudah didapatkan secara autodidak melalui berbagai perangkat teknologi itu. Saat itu orang akan enggan mengeluarkan dana yang tidak sedikit serta waktu yang banyak hanya untuk sekedar memperoleh selembar kertas ijazah dan sebuah gelar akademik. Karena sudah tidak begitu dibutuhkan lagi. Belum lagi kemungkinan bakal tersingkirnya manusia oleh dominasi mesin digital serba otomatis yang dapat menggantikan banyak peran.

Melihat perkembangan yang tampaknya masih akan terus bergerak dan berkembang secara progresif tanpa kenal batas serta orientasi hidup manusia yang kian ingin simple dan substantif, sekian puluh tahun atau pada generasi berikutnya, kondisi itu bakal tiba. “Lonceng kematian bagi dunia pendidikan formal” akan bebunyi keras!. Yang sudah mulai tampak kini seakan redup ialah lembaga-lembaga kursus atau bimbel. Lembaga-Lemaba ternama yang dulu didolakan dan dibanggakan oleh para siswa, kini telah mulai tergantikan oleh lembaga sejenis yang besifat daring. Sebab dianggap lebih praktis, murah, dan mutunya tidak kalah –bahkan boleh jadi bagus- dari yang kompensional.

Itu jika orientasi manusia nanti masih sekedar ilmu dan skill. Namun jangan lupa, bagi manusia yang beradab, tujuan pendidikan itu bukan hanya untuk ilmu dan keterampilan motorik. Yang tidak kalah pentingnya –bahkan menjadi yang paling urgen- adalah nilai afektif, budi pekerti, atau akhlak. Sebab, betapa banyak manusia berlilmu, ketika hatinya tidak diisi, ditanamkan serta dibiasakan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama yang baik, ia malah berbahaya bagi alam dan kehidupan manusia lainnya. Hal ini sudah sejak lama diwanti-wanti oleh para pakar dan pegiat pendidikan. Dalam pendidikan di Indonesia –khususnya di kalangan Muslim- sering muncul sebutan: “Perpaduan dan Keseimbangan antara IPTEK dan IMTAQ”. Artinya, tidak melulu orientasinya krpada ilmu dan skill hidup, tapi juga keimanan dan ketaatan dalam kepada Tuhan. Dan orang yang bagus agamanya, pasti menghargai dan memuliakan seluruh makhluk ciptaan Tuhan, terutama manusia. Bahkan dalam kurukulum pendidikan Nasional terakhir ditegaskan, bahwa penilaian itu terbagi pada tiga sapek: Kognitif (Pengetahuan teori), Apektif (Akhlak atau Prilaku), dan Psikomotorik (Keterampilan).

Nah, apabila perkembangan ini kian tak terbendung, orientasi manusia pun makin pragmatis, jika masih ada atau muncul kembali kesadaran bahwa ilmu dan keterampilan saja tidak cukup bahkan dianggap tidak berguna bagi manusia bila ia tidak memiliki akhlak yang baik, sementara penanaman nilai serta pembiasaan akhlak itu tidak mungkin didapatkan melalui jaringan internet atau secara daring, di saat itu satu-satunya alternatif bagi pendidikan anak hanyalah model pendidikan berbasis asrama atau pembinaan langsung secara terus-menerus (24 jam penuh). Ya, katakanlah pendidikan seperti model Pondok Pesantren. Sebab, di sana, selain anak mendapatkan ilmu dan diajari skill hidup, akhlaknya terjaga dan ibadahnya terlatih, manfaat paling minim dan juga mungkin yang paling urgen bagi para Orang Tua, sang anak dapat terhindar dari pergaualan bebas dan pengaruh negatif media dari luar. Setidaknya selama usia remaja anak yang  dikenal amat rentan terpengaruh oleh lingkungan.

Jika demikian kondisinya, artinya para Orang Tua yang masih sadar dan butuh akan penanaman nilai-nilai moral, pendidikan karakter, dan ajaran agama bagi anak-anak mereka, lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada mesti berbenah dan “putar haluan” menjadi pendidikan model asarama atau Pondok Pesantren. Sebab, jika tidak, dan masih berkutat dengan cara lama yang mulai ditinggalkan karena sudah tidak dibutuhkan lagi, lembaga-lembaga itu akan tamat tanpa menamatkan peserta didiknya.

Namun bagi pendidikan model pesantren yang ada, sebaliknya tidak boleh menutup mata dan menutup diri terhadap perkembangan yang ada. Para santri yang belajar di dalam Pondok Pesantren pun mesti dipersiapkan dan dibekali kemampuan diri untuk menghadapi perkembangan yang ada. Di samping penanaman nilai agar jangan sampai terhanyut oleh kemajuan itu, tapi justru memanfaatkannya untuk dakwah bagi maslahat manusia untuk dunia dan akhirat. Sebab, generasi mereka akan hidup dan mengarungi tantangan di zaman mereka sendiri yang berbeda dengan tantangan generasi kini.

Alangkah eloknya jika para Orang Tua atau Calon Orang Tua saat ini, juga para praktisi pendidikan memikirkan langkah untuk menyambut dan menghadapi kondisi yang besar kemungkinan bakal terjadi itu.

Demikian. Semoga bermanfaat, dan Wassalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulak Tondi Tu Badan

Cerita Rakyat "BORU AGIAN NA MATE MALUNGUN"

Kepemimpinan Rasulullah Dalam Pendidikan