HUKUM MANGUPA (MARGONDANG)

Persepsi Masyarakat terhadap Hukum Pesta Mangupa (Godang).

Tulisan ini menjawab pertanyaan dari salah seorang Kandidat Doktor Di Sumatera Barat, yang mencoba meneliti. Apa penyebab masyarakat tetap melaksanakan Gondang, jika sudah diharamkan Agama. Berikut keterangan kami. 

Dalam Masyarakat Batak Angkola, margondang menjadi satu tradisi masyarakat yang sudah turun temurun dilaksanakan. Setiap keluarga yang memiliki anak (Putra), berencana apabila sudah tiba waktunya (cukup umur). Maka anaknya kelak akan dilangsungkan pesta pernikahan dengan Margondang. Sehingga masyarakat Batak Angkola, memandang hal ini sebagai suatu kebiasaan adat istiadat, yang diwariskan secara turun temurun.
Jika kita lihat dari perspektif hukum Islam, para ulama juga berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama mengharamkannya, sebagian lagi membolehkan (Menghalalkan) dengan beberapa ketentuan. Dengan demikian, adat ini menjadi tetap lestari, dan dilangsungkan bagi masyarakat yang memandang hukum margondang boleh atau halal. Bagi masyarakat yang mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya, maka mereka tidak mengikutinya dan bahkan untuk menghadiri pesta margondang mereka tidak mau sama sekali.
Margondang sebagai suatu tradisi yang menggunakan alat music, sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari gondang itu sendiri. Sehingga pengambilan hukumnya juga berkaitan dengan hukum music itu sendiri. Dalam Margondang ada juga minuman Tuak (Minuman Keras), penaburan beras, bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadi penambah alasan untuk mengharamkan margondang.
Namun bagi Ulama yang membolehkan, juga memiliki alasan tersendiri dalam hal ini, kami cenderung memilih dan mengikuti pendapat ini, melihat dan menimbang kemaslahatannya dalam kehidupan sosial masyarakat Kecamatan Barumun Tengah.

Berikut ini beberapa kemaslahatan, bukan berarti menafikan mudharatannya. Dan perlu kita paham, Margondang tidak ada paksaan dalam adat. Terlepas dari seseorang yang memaksakan dirinya, cenderung menghalalkan. 

1. Nilai kerukunan

Pesta Margondang memiliki nilai kerukanan masyarakat, kegiatan margondang melalui beberapa tahapan, mulai dari Martahi sabagas (Musyawarah Keluarga), Martahi Ulutot (Musyawarah Jiren), Martahi Godang (Musyawarah bersama Tokoh Adat). Kegiatan kegiatan ini tentu akan terlaksana apabila setiap masyarakat menjalin hubungan yang harmonis antara satu sama lain. Melalui kegiatan ini akan tercipta kerukunan antar masyarakat satu desa atau satu kampung. 
Dengan demikian, jika kita kaitkan dengan Hukum Islam kerukunan masyarakat menjadi salah satu tujuan dari pada Islam itu sendiri hadir ditengah masyarakat. Sehingga kegiatan kegiatan seperti ini tentu memiliki manfaat, meskipun ada sisi negatifnya. Namun dalam pengamatan dan pengalaman kami, manfaat positifnya lebih banyak dari pada mudhartanya sendiri.  

2. Nilai Spiritual

Dalam kegiatan Margondang juga ada nilai spiritual yang disampaikan, menanamkan ketauhidan pada mereka yang melaksanakan dan menghadiri pesta itu sendiri. Misalkan, dalam setiap acara, selalu mengkaitkannya dengan karunia  Namarkuaso (Yang Maha Kuasa), atas karunia yang diberikan bisa melangsungkan pesta adat. 

3. Nilai Sosial

Sebagai manusia, tentu nilai sosial juga berpengaruh dalam hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam pesta ini, memberikan gambaran yang jelas tata kerama dan sopan santun dalam pergaulan sosial masyarakat. Setiap orang hanya boleh berdiri Manortor apabila dalam pandangan adat mereka se Kufu (Setara), bukan setara dalam ekonomi, status sosial (Jabatan) akan tetapi dari sudut Tata kerama dalam sosial masyarakat. Dalam Manortor, tidak boleh sama berdiri, antara laki-laki dan perempuan. Manortor hanya boleh antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Kecuali kedua mempelai, mereka yang disandingkan dalam pesta.

Terahir, penulis ingin menyampaikan bahwa adat bersifat dinamis. Bukan menjadi keputusan mutlak, yang tidak bisa diubah. Berdasarkan ini, dalam kacamata ushul fiqh, terkadang bisa juga adat,uruf. Bisa menjadi alasan hukum, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.  
Margondang sebagai warisan adat budaya, tentu bisa juga diinisiasi menjadi sebuah kegiatan yang tidak melanggar syariat dan juga norma norma adat. 

Akan tetapi, penganut adat itu sendiri yang terkadang berlebih dalam memahami adat. Dan cenderung mereka gagal mengartikan attusan dari Natua tua, nadung  jumolo sundut.  Boleh kita ganti dengan yang tidak melanggar salah satu pijakan hukum kita tersebut. Misalkan minuman Tuak (minuman keras) jika dipandang sebagai bagian adat, maka boleh diganti dengan Teh susu, kopi, atau minuman lainnya yang tidak melanggar syariat agama. 

Demikian semoga bermanfaat. 
Wallohu alam 
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulak Tondi Tu Badan

Cerita Rakyat "BORU AGIAN NA MATE MALUNGUN"

Kepemimpinan Rasulullah Dalam Pendidikan