Masalah Parhutaon

Masing masing daerah memiliki keunikannya sendiri. Yang menjadi salah satu ciri khas dari kekayaan Indonesia yang kita banggakan ini.

Huta istilah dalam bahasa Angkola, menyebutkan tempat tinggal manusia secara berkelompok. Secara ringkas proses mendirikan Huta tidak sembarangan, harus terpenuhi dalihan natolu (Mora, Kahanggi, Anak Boru). Sebagai syarat utama ketiga unsur ini haruslah ada, baik Huta, Nadi Pahuta istilah ini harus bisa kita bedakan satu sama lain. 
Desa istilah yang digunakan dalam bahasa Indonesia (Nasional), dengan maksud dan tujuan yang sama dengan Huta, meski ada penambahan "Anak Desa".
Secara kepemimpinan, Huta dipimpin oleh Natobang, dibantu oleh Hula Hula, dan juga Hulubalang. Sedangkan desa dipimpin oleh Kepala desa dibantu oleh perangkat desa. Huta bagian administrasi terkecil dari Luat. Sedangkan desa dibawah dari Kecamatan, dibawah desa masih ada RT/RW. 
Istilah desa Tidak kita temukan di Sumatera Barat. Mereka menggunakan Istilah Jorong, bagian terkecil dari Nagari. Tentunya beda pula di Papua. Namun ini kita maknai sebagai kekayaan kearifan lokal Indonesia. 

Perlu kita perjelas sedikit, istilah "Marmasuk Huta" jika kita artikan "Marmasuk Huta" adalah prosesi seseorang memasuki ranah adat ditempat tinggalnya. Memberitahukan kepada Natobang, Hatobangon bahwa "Dia" telah ikut dan taat terhadap aturan adat yang berlaku di Huta (tempat tinggal) nya tersebut. Tentunya dengan prosesi adat yang disepakati oleh pemangku adat masing masing. (Semoga bisa kita bahasa lain waktu Marmasuk Huta). 

Dalam kehidupan sosial ada tiga hukum yang harus kita patuhi
1. Hukum Agama (dan ini hukum tertinggi)
2. Hukum Negara 
E. Hukum adat.

Ketiga tiganya saling menopang satu sama lain. Sebaliknya jika kita kaitkan, secara historis adanya desa didasari dengan adanya HUTA. Jauh sebelum Indonesia merdeka istilah Huta sudah digunakan di wilayah Hukum Adat Angkola,   dan penetapan satu desa juga berdasarkan Huta tersebut. Maka administrasi desa juga mengikuti keputusan Huta, misalkan soal tapal batas desa, warga desa, msyarakat desa. 

Persoalan yang muncul, saat ini semestinya juga harus bisa dipilah dengan jernih. Agar tidak menimbulkan sentimen tersendiri ditengah masyarakat. Dengan kata lain, jika ada warga yang tinggal di Desa tersebut, memiliki administrasi kependudukan didesa tersebut, maka secara otomatis sudah menjadi warga desa tersebut. Akan tetapi jika tidak memiliki bukti fisik (KK, KTP) Sebagai administrasi desa maka kembali kepada kebijakan kepala Desa setempat. 

Persoalan lain, memiliki bukti administrasi sebagai warga desa, akan tetapi belum Marmasuk Huta. Maka hal ini juga perlu di sikapi dengan bijak, Jika alasan ketidak mampuan dalam prosesi marmasuk huta sebagai alasan. Maka tentu itu tidak tepat, alasannya "Jika kita sudah marmasuk huta tentu ada posisi, anak boru, mora, kahanggi.

 Kesalahannya bukan pada hukum adatnya, akan tetapi pemahaman kita terhadap penerapan adat budaya kita. 
Jika kita sudah mengakui bahwa "yang Masuk huta" adalah kahanggi kita. Maka semestinya kita harus siap "saluppat saindege" membantunya untuk melaksanakan prosesi adat tersebut. Disini letak gotong royong warisan leluhur kita, sabara sabustak, sarongit, saguluan. 

Jadi bukan sebatas filosofi adat saja, perlu aktualisasi sari filosofi adat ini. Jika persoalan ini muncul maka perlu disikapi dengan bijak agar, tidak menimbulkan gesekan ditengah masyarakat kita. 

Bagaimana jika dia Tidak Tedaftar secara administrasi dan juga tidak masuk parhutaon?
Bagaimana jika secara administrasi sudah masuk, secara parhutaon belum dari segi ekonomi dia mampu? 

Kita diskusikan lain waktu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulak Tondi Tu Badan

Cerita Rakyat "BORU AGIAN NA MATE MALUNGUN"

Kepemimpinan Rasulullah Dalam Pendidikan